Birahi Liar
Kedatangan Mama mengejutkanku. Karena tidak ada kabar sebelumnya.
Setelah mencium tangan dan cipika cipiki, aku langsung bertanya, “Kenapa gak nelepon dulu kalau Mama mau datang?”
“Memangnya gak seneng ya kalau sekali - sekali mama bikin kejutan sama anak mama?”
“Bukan begitu. Aku kaget aja tau - tau Mama muncul. Naik apa tadi ke sini Mam?”
“Pake kereta api. Dari stasiun ke sini pake taksi. “
“Tapi Mama sehat - sehat aja kan?”
“Sehat. Itu mama bawain balado teri medan dan sambel goreng kentang udang kesukaanmu. “
“Hehehee… iya… terima kasih Mam. Tapi sebentar… Mama ke sini sama siapa?”
“Sendirian aja. “
“Kok gak sama Papa?”
“Ah…
papamu lagi main gila sama janda muda. Mana mau dia diajak ke sini.
“Ohya, mama pengen nginap di kota ini, biar sekalian bisa jalan - jalan.
Tapi mama gak mungkin bisa tidur di sini kan?”
“Iya
Mam. Peraturan ibu kos ketat sekali. Gak boleh ada orang luar ikut
nginep di sini, meski orang tua sekali pun tidak boleh. “
“Ya udah. Cariin hotel aja yang tidak jauh dari rumah kos ini. “
“Memangnya Mama berani tidur sendirian di hotel?”
“Takutlah. Kan ada kamu yang bisa nemenin mama selama mama di kota ini. “
“Iya deh. Nanti aku temani. Tapi oleh - olehnya bawa ke hotel aja ya. Biar makan di sana aja. “
“Boleh. Mmm… tiap kamar di rumah kos ini dihuni sama dua orang ya?”
“Iya Mam. Teman sekamarku baru berangkat kuliah. Dia dapet kuliah sore sampai malam. Aku sih kuliah pagi tadi. “
“Di rumah kos ini ada ceweknya juga?”
“Gak ada Mam. Semuanya cowok. Ibu kos gak mau terima cewek, takut ada yang hamil gak jelas, katanya. “
“Hihihiii… gitu ya. Ayolah sekarang kita cari hotel dulu. “
“Iya, “aku mengangguk sambil mengganti pakaian di depan Mama. “Rencananya mau berapa hari di Jogja Mam?”
“Maunya
sih semingguan. Ingin jalan - jalan ke candi Prambanan dan Borobudur,
ingin ke keraton. ke pantai Parangtritis dan sebagainya. Makanya cari
hotel yang murah aja, biar bisa jalan - jalan sama kamu. Ohya… hari
Senin kan tanggal merah. Kamu libur kan?”
“Iya Mam. Jadi sekarang ini long weekend. Sabtu, Minggu dan Senin libur. “
“Syukurlah. Mama ingin diantar jalan - jalan, mumpung lagi di Jogja. “
“Iya
Mam. Dari Selasa sampai Jumat, kuliahku pagi terus. Jadi Mama bisa
istirahat dulu, siangnya aku pulang kuliah langsung ke hotel. “
Beberapa
saat kemudian, sebuah taksi membawa kami ke sebuah hotel yang sudah
kusebutkan kepada sopir taksi. Hotel melati tiga, tapi fasilitasnya
bagus. Ada AC dan air panasnya, karena Mama terbiasa mandi pakai air
panas. Kamarnya juga bersih dan serba baru, karena hotelnya juga baru
dibuka beberapa bulan yang lalu.
Dan yang lebih
penting lagi, hotel ini tidak terlalu jauh dari Malioboro. Jadi kalau
Mama mau belanja ke Malioboro, bisa jalan kaki dari hotel juga.
Setelah
berada di dalam kamar hotel, aku langsung membuka oleh - oleh dari
Mama. Ternyata ada nasi timbelnya juga (nasi yang digulung dengan daun
pisang).
“Ayo makan dulu Mam, “ajakku.
“Makanlah.
Mama masih kenyang, tadi makan nasi goreng di dalam kereta api, “sahut
Mama, “Nanti kita jalan - jalan ke Malioboro ya. “
“Iya Mam, “ucapku yang sudah mulai makan oleh - oleh Mama.
Mama mengeluarkan handuk, sabun, shampoo, odol dan sikat gigi dari dalam tas pakaiannya. “Mama mau mandi dulu ah, “katanya.
“Kalau
sudah ada rencana mau tidur di hotel, ngapain bawa handuk dan sabun
segala? Kan hotel - hotel selalu menyediakan peralatan mandi Mam,
“kataku.
“Ah, mama mah suka risih pakai handuk hotel. Takut pernah dipakai oleh orang yang punya penyakit menular. “
“Kan selalu dicuci bersih sebelum diberikan pada tamu yang baru cek in seperti kita ini Mam. “
“Tetep
aja risih. Siapa tau ada bakteri atau virus yang tidak mati di mesin
cuci, “sahut Mama yang lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Aku pun melanjutkan makan sampai kenyang. Kemudian cuci tangan di washtafel.
“Booon… !” terdengar suara Mama memanggilku dari kamar mandi.
“Ya Mam?” aku menghampiri pintu kamar mandi.
“Tolong ambilin celana corduroy biru tua, baju kaus hitam dan celana dalam dari tas pakaian mama Bon… !”
“Iya
Mam, “sahutku sambil bergegas membuka tas pakaian Mama. Untuk
mengeluarkan celana corduroy berwarna biru tua, baju kaus berwarna hitam
dan celana dalam putih. Kemudian aku melangkah ke pintu kamar mandi
sambil menjinjing pakaian Mama itu.
“Ini Mam !” seruku di depan pintu kamar mandi.
“Buka aja pintunya, gak dikunci kok, “sahut Mama.
Kubuka pintu kamar mandi lalu masuk ke dalamnya.
Dan… aaah… Mama sedang telanjang bulat dengan badan masih berbusa sabun… !
Biasanya
kalau melihat Mama telanjang, aku suka memalingkan muka, karena jengah.
Tapi kali ini aku malah terpaku sambil mengamati keindahan tubuh Mama
itu. Tubuh yang tinggi langsing, namun dengan toket dan bokong yang
besar.
Kemudian Mama membilas busa sabun di
tubuhnya dengan pancaran air shower yang mengepulkan uap, karena airnya
panas. Sementara aku malah berdiri terus sambil memperhatikan keindahan
tubuh Mama yang… gila… kenapa batinku jadi berdesir - desir aneh begini?
Setelah
tubuh Mama bersih dari busa sabun, tampak jelas… kemaluan Mama yang
berjembut tipis itu… sehingga bentuknya tetap jelas kelihatan.
Lalu…
kenapa pula kontolku mendadak ngaceng begini? Apakah aku mendadak jadi
anak yang bejat, yang membayangkan “sesuatu” terhadap ibu kandungku
sendiri?
Tapi ketika Mama tampak menyadari
kehadiranku yang masih memegang pakaian bersihnya ini, aku pun
memalingkan muka sambil mengangsurkan pakaian Mama. Tapi Mama malah
menghanduki badannya, sementara tanganku masih menggenggam pakaiannya.
Kemudian Mama mengambil pakaiannya dari tanganku.
Aku pun keluar dari kamar mandi. Tanpa kata - kata lagi.
Tapi batinku berkecamuk. Berkemelut yang sulit meredakannya.
Aku
berusaha menenangkan diri dengan keluar dari kamar. Dan duduk di kursi
depan kamar, sambil memandang pohon sawo yang tampak sudah berbuah tapi
masih kecil - kecil itu. Namun batinku tetap dikuasai oleh sesuatu yang
sangat merangsang di kamar mandi tadi.
Yang
membuatku jadi resah. Berdiri lagi. Jalan - jalan ke depan hotel, balik
lagi ke kamar dan merebahkan diri di atas satu - satunya ranjang dalam
kamar ini. Sementara Mama sedang menyisir di depan cermin meja rias.
“Kamu ngantuk Bon?” tanya Mama tanpa beranjak dari depan meja rias sederhana itu.
“Iya Mam. Dibius sama nasi tadi. “
“Makanya kalau makan jangan sampai terlalu kenyang. Ya udah… ke Malioboronya nanti malam aja ya. “
“Iya
Mam, “sahutku sambil pura - pura terpejam. Padahal aku sedang
memperhatikan Mama secara diam - diam. Bahwa Mama melepaskan kembali
celana corduroy biru tua dan baju kaus hitamnya. Bahkan behanya pun
dilepaskan. Kemudian Mama mengeluarkan kimono berwarna orange dari dalam
tas pakaiannya.
Dikenakannya kimono orange itu. Kemudian Mama naik ke atas bed, sambil memeluk bantal guling, membelakangiku.
“Peluk mama Bon. Dulu waktu masih kecil kamu kan seneng banget melukin mama, “kata Mama.
Memang
benar kata Mama. Waktu masih kecil, aku senang sekali memeluk Mama
sambil memainkan payudaranya yang montok itu. Tapi sejak lulus SMP, aku
tak pernah diajak tidur bareng Mama lagi.
Dan kini aku sudah dewasa. Sudah menyelesaikan kuliah, bahkan sedang menyiapkan skripsi.
Maka
jelaslah aku merasa jengah kalau harus memainkan payudara Mama lagi.
Tapi aku tetap memeluk mama dari belakang, seperti yang Mama inginkan.
“Mam… Papa itu main perempuan mana lagi?” tanyaku sambil mendekap pinggang Mama.
“Sama janda muda yang sekantor dengannya. “
“Papa gak ada bosannya ya nyakitin Mama. “
“Biarin
aja Bon, “sahut Mama sambil menggulingkan badannya jadi berhadapan
denganku, “Mama malah akan membalas dendam sama Papa dengan cara mama
sendiri. “
“Asal jangan pakai kekerasan aja Mam. “
“Nggak. Mama mau selingkuh aja. Tapi gak mau selingkuh sama orang luar. “
“Lalu mau selingkuh sama siapa Mam?”
“Sama kamu. Mau nggak kita kompak untuk membalas perbuatan Papa?”
“Maksudnya dengan cara gimana?”
Tiba - tiba Mama membisiki telingaku, “Masa sudah hampir sarjana gak ngerti maksud mama?”
“Hmm… samar - samar Mam. Mau selingkuh denganku maksudnya… mau begituan sama aku gitu?”
“Iya. Mama pengen dientot sama kamu. “
Laksana
mendengar ledakan petir di siang bolong, aku ternganga sambil
memperhatikan senyum dan tatapan mata Mama yang lain dari biasanya.
“Ayo
jangan munafik kamu. Mau nggak berselingkuh sama mama?” tanya Mama
sambil menarik ritsleting celana jeansku, lalu menyelinapkan tangannya
ke balik celana dalamku. Dan menggenggam kontolku yang memang sudah
ngaceng sejak disuruh memeluk Mama tadi.
“Bona… ! Sejak kapan kontolmu jadi gede dan panjang begini Bon?” seru Mama seperti kaget.
“Sejak aku dewasa aja Mam. Mama kan suka mandiin aku waktu masih kecil. Setelah aku di SMP, Mama gak pernah mandiin aku lagi. “
“Mmm… kontolmu mantap Bon… ! “ucap Mama setengah berbisik, sambil meremas kontolku dengan lembut.
“Hehehee…
Mama serius mau dientot sama aku?” tanyaku sambil menurunkan celana
jeans sekaligus celana dalamku, sampai terlepas dari sepasasng kakiku.
“Iya. Mama ingin mengobati sakit hati dengan cara mama sendiri. Kamu mau kan?”
“Mau… tapi kalau Mama hamil nanti gimana?”
“Aaaah…
itu sih pikirin nanti aja. Jangan dipikirin sekarang, “ucap Mama sambil
menanggalkan kimononya, sehingga tinggal celana dalam saja yang masih
melekat di badannya. Karena tadi, sebelum mengenakan kimono orange itu
Mama sudah menanggalkan behanya.
“Ini beneran Mam?”
“Iyalah.
Sejak berangkat dari rumah tadi, mama sudah merencanaklan ini semua.
Lagian kontolmu juga udah ngaceng begitu, berarti kamu juga nafsu
melihat mama telanjang di kamar mandi tadi kan?”
“Iya mam. Jujur aja, tadi waktu melihat Mama telanjang di kamar mandi, gak sari - sarinya kontolku jadi ngaceng. “
“Berarti kita sama - sama kepengen kan?” cetus Mama sambil mendekatkan wajahnya ke kontolku. Lalu menciumi moncongnya.
Aku
bukan lagi lelaki yang masih ingusan dalam soal sex. Masa laluku yang
sangat dirahasiakan itu, telah membuatku trampil dalam hal memuasi
perempuan. Namun aku masih bersikap pasif dahulu, karena semuanya ini
masih membuatku shock. Betapa tidak shock. Mama adalah ibuku. Nyaris tak
dapat dipercaya bahwa Mama ingin dientot olehku, sebagai wujud dari
pembalasan terhadap perselingkuhan Papa.
Tapi
seperti kata Mama barusan, aku tak boleh munafik. Bukankah aku sangat
terangsang waktu melihat Mama telanjang bulat di kamar mandi tadi,
sehingga kontolku jadi ngaceng?
Dan kini, Mama
bukan cuma menciumi moncong kontolku. Mama juga menjilatinya, bahkan
lalu mengulum kontolku dengan binalnya. Maka tanpa keraguan lagi kubalas
peruatan Mama itu dengan mempermainkan pentil toketnya.
Tapi
semuanya itu kulakukan sambil memejamkan mataku. Karena kalau bertemu
pandang dengan Mama, ada perasaan bersalah di dalam hatiku. Itulah
sebabnya aku memejamkan mataku sambil meremas toket Mama dan mengemut
pentilnya sambil memejamkan mataku. Sambil membayangkan sedang meremas
dan mengemut toket dosenku yang seksi itu.
Namun
ketika aku masih memejamkan mata, tangan kananku ditarik oleh Mama,
lalu diletakkan di permukaan sesuatu yang berambut tipis dan ada
celahnya… yang aku yakin bahwa yang kusentuh ini adalah memek Mama… !
Setelah
menyentuh sesuatu yang membangkitkan tanda tanya dan nafsu ini, kubuka
mataku. Ternyata Mama sudah menanggalkan celana dalamnya. Dan yang
sedang kujamah ini adalah memeknya… !
Sementara Mama pun sudah menelentang sambil tersenyum manis padaku.
“Ayo mau diapain memek mama ini Sayang?” tanyanya sambil mengelus - elus rambutku.
“Ma… mau dijilatin seperti dalam film bokep Mam. Boleh?” aku menatap Mama dengan perasaan masih ragu.
“Boleh,
“sahut Mama, “jilatinlah sepuasmu. Anggap aja mama ini orang lain.
Bukan ibumu. Ayo… jilatinlah memek mama. “Mama merenggangkan kedua belah
paha putih mulusnya sambil tersenyum yang sangat lain dari biasanya.
Kubulatkan
hatiku, lalu tengkurap di antara kedua belah paha Mama, dengan wajah
berada di atas kemaluan Mama yang jembutnya sangat tipis dan halus itu.
Nafsu
birahi sudah semakin menguasai diriku. Sehingga tanpa keraguan lagi
kungangakan mulut memek Mama, sehingga bagian yang berwarna pink itu
tampak jelas di mataku. Hmmm… betapa menggiurkannya bagian yang berwarna
pink itu.
Maka kujilati bagian yang berwarna
pink itu dengan lahap. Membuat Mama mulai menggeliat sambil membelai
rambutku yang berada di bawah perutnya.
Begitu
lahapnya aku menjilati bagian yang berwarna pink di tempik Mama itu.
Sehingga Mama semakin menggeliat - geliat sambil berdesah - desah.
“Booon…
ooooohhhhh Boooon… kamu sudah pandai gini jilatin memek yaaaa…
lanjutkan jilatin Booon… itilnya juga jilatin… ini nih itilnyaaaaa…
“Mama menunjuk ke bagian yang nyempil sebesar kacang kedelai itu.
Kuikuti
keinginan Mama. Kujilati itilnya yang sebesar kacang kedelai itu.
Bahkan kusertai dengan isapan - isapan, membuat Mama mulai klepek -
klepek.
Bahkan pada suatu saat Mama berkata terengah, “Cu… cukup Bona… ! Ma… masukin aja kontolmu Sayaaaang… !”
Tanpa membantah, kuangsurkan moncong kontolku ke mulut memek Mama.
Mama
pun membantu dengan memegangi leher kontolku. Mungkin agar arahnya
tepat sasaran. “Iiiih… gedenya kontolmu ini Bon. Gak nyangka kontol anak
kesayangan mama sudah sepanjang dan segede ini. “
“Umurku sekarang kan sudah duapuluhtiga tahun Mam. “
“Iya. Tapi kontol papamu aja gak segede dan sepanjang ini Sayang. Ayo dorong… !”
Tanpa mikir lagi kudesakkan kontolku sekuatnya. Dan… langsung melesak masuk ke dalam liang memek Mama.
Mama
seperti menahan nafasnya. Lalu berkata, “Terasa sekali bedanya kontolmu
dengan punya papamu. Kontolmu jauh lebih gede… pasti jauh lebih enak
daripada punya papamu. Ayo entotin Bon. “
Tanpa membantah, aku mulai mengayum kontolku, bermaju mundur di delam liang memek Mama.
“Mam… uuuugggghhhh… Maaaam… ternyata memek Mama enak sekali Maaaaam… “ucapku tanpa memperlambat gerakan entotanku.
Mama
memeluk leherku, lalu merapatkan pipinya ke pipiku sambil berkata
terengah, “Kon… kontolmu juga… enak sekali Sayaaaang… gak nyangka… kita
bakal beginian ya… “
“Iii… iyaaaa… yang penting Mama jangan sakit hati lagi sama Papa… “
Pergesekan
kontolku dengan dinding liang memek Mama memang luar biasa nikmatnya.
Membuat nafasku jadi berdengus - dengus, diiringi oleh rintihan dan
rengekan manja mama yang terdengar sangat erotis di telingaku,
“Booonaaaa… aaaaaaahhhh… Booon… aaaaaah… aaaaaaa… aaaaah… entot terus
Booon…
Ini luar biasa enaknya Bonaaaa… aaaaa…
aaaaah… entoooottt teruussss… entooottttttttt… jangan brenti - brenti…
entoooooooottttttt… entoooooottttttt… entooooot Sayaaang…
entoooooooootttttttt… aaaaaa… aaaaaah… sambil remes tetek mama Booon…
iyaaaa… remes terussss…
Aku semakin bergairah
untuk melanjutkan persetubuhan dengan Mama ini. Bahkan ketika mulut Mama
ternganga - nganga, kupagut bibir yang sedang ternganga itu. Dan
ternyata mama menyambut dengan lumatan binal.
Dekapan
Mama di pinggangku pun berubah jadi remasan -remasan di bokongku. Maka
aku pun semakin bersemangat untuk menjilati leher mama yang sudah mulai
keringatan. Membuat Mama terpejam - pejam dan menahan - nahan nafas.
Tapi aku masih sempat berbisik di dekat telinga mama, “Nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Mam? “
“Di… di dalam… me… memek mama aja… Sayang. Emangnya ka… kamu udah mau ngecrot?”
“Be… belum Mam. Cuma nanya aja. “
Persetubuhan
ini semakin bergairah ketika Mama mulai menggoyang pinggulnya… meliuk -
liuk dan menghempas - hempas ke kasur. Sehingga kontolku serasa dibesot
- besot oleh dinding liang memek Mama yang terasa hangat dan licin ini.
Namun
tiba - tiba Mama tampak seperti panik, “Bona… Bona ! Mama mau lepas…
mau lepas… barengin Bon… biar nikmat… mau lepas Bon… mau lepassss… ayo
barengin… barengin… “
Aku jadi ikutan panik. Maka kupercepat entotanku dan berusaha ngecrot bareng seperti yang mama inginkan.
Dan
akhirnya kutancapkan kontolku di dalam liang memek Mama, tanpa
menggerakkannya lagi. Pada saat itu pula Mama tampak mengejang sambil
meremas - remas rambutku, sambil menahan nafasnya dengan mata terpejam
erat - erat.
Pada saat itu pula aku sedang
melotot sambil merasakan berlompatannya air mani dari moncong kontolku.
Crooooootttttt… crooooottttt… crottt … crooottt… crooooooooottttttttt…
crot… crooooooooooooooooooottttttttttttttttttttt !
Aku
terkapar di atas perut Mama. Lalu terkulai lunglai dengan tubuh
bermandikan keringat. Seperti Mama juga, yang wajah dan lehernya
dibanjiri keringat.
Ketika membuka matanya,
Mama tersenyum sambil mencubit pipiku, “Kamu sangat memuaskan Sayaaang…
emwuaaaah… emwuaaaaah… !“Mama menciumi sepasang pipiku. Lalu mendorong
dadaku, mungkin agar kontolku dicabut dari dalam memeknya.
Aku lakukan itu. Mencabut kontolku yang sudah lemas ini dari liang memek Mama.
Namun setelah mencabut kontol, aku tengkurap lagi di antara sepasang paha Mama yang masih renggang jaraknya.
Dengan
serius kuperhatikan bentuk memek Mama yang baru mengalami orgasme itu.
Memang benar kata para pakar seks, bahwa memek yang baru mengalami
orgasme akan membuka seperti bunga yang baru mekar. Bahkan labia
minoranya pun tampak seperti jengger, mengembang dan menghitam. Tapi
bagian dalamnya yang berwarna pink itu justru semakin indah dipandang
mata.
“Mau diapain lagi memek mama Sayang?” tanya mama sambil duduk dan membelai rambutku.
“Seneng ngeliat memek Mama yang baru orgasme. Jadi seperti bunga mekar, “sahutku.
“Masa sih?! Sebentar… mama mau ke kamar mandi dulu. Pengen kencing. “
Mama
turun dari bed dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Aku pun
bergegas mengikuti Mama, lalu memperhatikan Mama yang sedang duduk di
kloset. “Mau ngapain lagi Sayang?”
“Pengen merhatiin seperti apa bentuk memek yang sedang kencing Mam. “
“Hihihiii…
kamu ada - ada aja. Iya deh… liatin nih, seperti apa memek mama kalau
sedang kencing… “ucapku sambil berjongkok di dekat kloset, dengan
pandangan terpusat ke memek Mama.
Mama tersenyum dan duduk di klosetnya agak mundur, agar aku bisa menyaksikan seperti apa bentuk memek yang sedang kencing itu.
Ssssrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr…
air kencing terpancar dari liang kecil di bagian memek yang berwarna
pink itu. Aku tercengang menyaksikannya. “Waktu aku lahir, keluarnya
dari lubang yang berbeda dengan lubang kencing ya Mam, “kataku.
“Ya
beda lah. Kamu dikeluarkan dari lubang yang dientot sama kamu tadi,
“sahut Mama sambil menyemprotkan air shower untuk menceboki memeknya.
“Kapan - kapan kalau Mama kencing, aku pengen nyebokin Mama ah… “ucapku sambil berdiri kembali.
“Iya Sayang. Mmm… perutmu masih kenyang kan?”
“Iya, masih kenyang. Emangnya kenapa?”
“Mama sudah kangen sama gudeg Jogja. “
“Ya
ayo kuanter. Dekat hotel ini ada warung gudeg yang murah tapi enak. Di
Jogja sih jangan asal - asalan beli gudeg di tempat yang ramai sama
turis. Salah - salah bisa ditekuk harganya. Mending kalau enak gudegnya.
Yang jualan bukan orang Jogja kok. “
“Iya. Ntar mama mau bersih - bersih dulu. Badan mama penuh keringat nih. Lengket - lengket. “
Aku
pun kencing dulu di kloset bekas Mama kencing tadi. Kemudian keluar
dari kamar mandi. Mengenakan pakaian kembali. Dan duduk di satu -
satunya sofa dalam kamar ini.
Sekilas bayangan
masa laluku menggelayuti terawanganku. Tentang segala yang pernah
terjadi ketika Papa dan Mama masih tinggal di Sleman. Karena pada saat
itu Papa masih bekerja di Jogja.
Tapi setelah
Papa dimutasikan ke Jabar, semuanya pindah ke Jabar. Hanya aku yang
tetap tinggal di Jogja. Di rumah kos milik Bu Artini itu, karena rumah
dinas Papa dihuni oleh keluarga lain setelah Papa dipindahkan ke Jabar.
Tentu
saja aku takkan dapat melupakan semuanya itu. Berawal dari dalam rumah
kami sendiri. Bahwa aku merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga
kakakku perempuan semua. Sebut saja Mbak Weni yang tertua, Mbak Rina
yang kedua, Mbak Lidya yang ketiga dan aku bernama Bona (disamarkan
semua) yang keempat alias anak bungsu.
Beda usia kami hanya setahun - setahun. Lucu ya? Mbak Weni 21 tahun, Mbak Rina 20 tahun, Mbak Lidya 19 tahun dan aku 18 tahun.
Menurut
penuturan Mama, sengaja Papa dan Mama “bikin anak” setahun sekali, lalu
distop (masuk KB) setelah anaknya 4 orang. Jadi capeknya sekaligus pada
waktu kami masih kecil - kecil. Setelah “target”nya terpenuhi (punya
anak empat orang), Mama tidak perlu hamil lagi. Cukup dengan mengasuh
kami berempat yang perbedaan usianya dekat - dekat ini.
Ketiga
kakakku terasa sangat menyangiku sebagai satu - satunya saudara mereka
yang cowok. Begitu juga Papa dan Mama selalu memanjakanku. Apa pun yang
kuminta, selalu dikasih. Tapi tentu saja permintaanku bukan yang mahal -
mahal. Paling juga minta dibeliin sepatu olahraga, minta dibeliin bat
pingpong dan bola basket.
Aku dan kakak -
kakakku pada kuliah semua, sesuai dengan indoktrinasi dari Papa, bahwa
harta itu ada habisnya. Tapi ilmu takkan habis - habis sampai kapan pun.
Aku sendiri kuliah di fakultas pertanian. Karena sejak masih di SMA, aku ingin sekali jadi insinyur pertanian.
Baik Papa mau pun Mama tidak menghalang - halangi pilihanku. Karena
semua fakultas itu baik, kata mereka. Begitu pula kakak - kakakku ikut
mendukung saja pada pilihanku untuk kuliah di fakultas pertanian.
Di
antara kakak - kakakku, Mbak Weni yang paling baik padaku. Dia sering
nraktir makan baso, martabak manis, pizza dan sebagainya. Dia memang
selalu banyak duit. Tapi aku tidak tahu darimana dia selalu punya duit
banyak begitu. Mungkin dari pacarnya atau entah dari mana. Tapi setahuku
Mbak Weni tidak punya pacar.
Tapi biarlah, itu
urusan pribadinya yang tak perlu kucampuri. Yang jelas aku merasa Mbak
Weni selalu mendukungku dalam hal apa pun. Misalnya pada waktu aku
sedang mengikuti pertandingan olah raga, baik pertandingan bola basket
mau pun tenis meja, Mbak Weni selalu berusaha membawa teman - temannya
untuk menjadi suporterku.
Mbak Weni juga selalu membelaku kalau sedang berdebat dengan Mbak Rina mau pun Mbak Lidya.
Tapi sebenarnya aku tak pernah bertengkar dengan ketiga kakakku. Paling hanya berdebat sedikit, lalu ketawa - ketiwi lagi.
Hari demi hari pun berputar terus tanpa terasa.
Sampai pada suatu hari. Papa dan Mama terbang ke Palembang untuk menghadiri pesta pernikahan saudara sepupuku.
Mbak
Rina pun dibawa, karena dia senang merias pengantin. Maklum Mbak Rina
bercita - cita ingin memiliki salon yang besar dan punya cabang di
beberapa kota.
Sementara itu
Mbak
Lidya sedang study tour ke Jawa Timur, sehingga di rumah hanya ada aku,
Mbak Weni dan pembantu yang tiap pagi datang, lalu pulang setelah sore.
Aku
bahkan diingatkan oleh Papa, agar jangan meninggalkan rumah kalau tidak
ada urusan yang penting. Supaya di rumah kami tetap ada cowoknya.
Namun
pada saat inilah mulai terjadinya kisah yang takkan kulupakan di seumur
hidupku. Awalnya Mbak Weni berkata padaku, “Bona… rumah ini jadi terasa
sepi dan agak menakutkan. Nanti malam tidur di kamarku aja ya. “
“Iya Mbak, “sahutku yang selalu menurut kepada kakak sulungku itu. Karena dia juga selalu berbaik hati padaku.
Setelah
mandi sore, aku diajak makan bersama Mbak Weni. Pada saat itu Mbak
Atiek, pembantu kami, sudah pulang. Sehingga kami bebas mau ngomong apa
saja.
Pada waktu makan sore itulah Mbak Weni menanyakan sesuatu yang tidak biasa ditanyakannya.
“Bona… kamu udah punya pacar belum?” tanyanya.
“Belum, “sahutku, “Mbak sendiri udah punya?”
“Dulu
waktu masih di SMA sih punya. Sekarang sie gak punya. Pacaran itu buang
- buang waktu doang. Teman dekat sih banyak. Tapi gak mau pacaran dulu.
Nanti kalau udah sarjana, langsung nyari calon suami aja. Jangan cuma
pacaran mulu. “
“Aku juga gitu Mbak. Otak
mendingan dipake buat kuliah. Pacaran sih nanti aja kalau udah punya
kerja. Pacaran kan butuh biaya juga. Buat traktir makan - makan lah,
buat nonton bioskop lah. “
Mbak Weni mengangguk - angguk sambil tersenyum.
Ketika
jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, seperti biasa kalau sudah
mau tidur, kukenakan celana training dan baju kaus oblong. Lalu masuk ke
dalam kamar Mbak Weni.
Kulihat Mbak Weni
sedang asyik dengan hapenya. Entah sedang WA sama siapa. Yang jelas dia
sering tersenyum sendiri sambil memandang layar hapenya.
Aku
pun langsung naik ke atas bednya yang selalu harum parfum mahal. Ini
salah satu yang kusukai pada kakak sulungku itu. Kamarnya selalu harum,
apalagi tempat tidurnya ini.
Tak lama kemudian Mbak Weni pun mematikan hapenya, lalu men-charge-nya.
Pada
saat itu Mbak Weni juga sudah mengenakan dasternya yang berwarna pink
polos. Setelah mematikan lampu terang dan menyalakan lampu tidur
berwarna biru, dia naik juga ke atas tempat tidurnya.
“Yong… kamu udah pernah ngerasain begituan sama cewek?” tanyanya.
“Haa? Belum lah. “
“Masa sih?! “
“Sumpah, aku belum pernah begituan. Emangnya kenapa?”
“Megang memek cewek sih pernah kan?”
“Belum juga Mbak. Jangankan megang memek. Megang toket juga belum pernah. “
“Kasian…
udah jadi mahasiswa belum pernah ngapa - ngapain. Padahal kamu ini
ganteng lho. Tapi kamu gak pernah memanfaatkan kegantenganmu ini ya?”
Aku tidak menanggapi ucapan kakak sulungku itu.
Mbak Weni bahkan memeluk pinggangku sambil bertanya setengah berbisik, “Kamu mau nyobain ngentot nggak?”
“Haaa? Sama siapa?” tanyaku kaget.
“Sama aku lah. Emangnya sama kucing? Hihihihiii… ”
“Nggak apa - apa Mbak? Kan Mbak Weni kakakku. “
“Nggak apa - apa. Asal bisa nyimpen rahasia aja. Jangan sampai Mama dan saudara - saudara kita tau. “
Sebagai
cowok yang baru berumur 18 tahun, tentu saja aku langsung tertarik oleh
tawaran Mbak Weni itu. Bahkan pada saat itu juga aku mulai memandang
Mbak Weni dari sisi lain. Bukan dari sisi seorang adik kepada kakak
kandungnya, melainkan sisi seorang cowok kepada cewek yang cantik dan
berperawakan seksi.
“Mau Mbak. Tapi aku belum berpengalaman. Gimana?”
“Gampang
soal begituan sie. Dalam semenit dua menit juga bakal langsung pandai,
“kata Mbak Weni sambil duduk dan melepaskan daster pink itu lewat
kepalanya.
Dan aku cuma bisa terbengong -
bengong. Karena Mbak Weni jadi tinggal mengenakan celana dalam saja,
sementara toketnya terbuka penuh karena tidak ada beha di balik daster
pink itu.
Dengan ragu - ragu kupegang payudara Mbak Weni itu.
Mbak Weni malah mengangsurkan toketnya sambil berkata, “Mau netek kayak bayi? Ayolah… jangan canggung gitu. “
Seperti
robot, kulakukan saja apa yang Mbak Weni tawarkan itu. Kukulum pentil
toketnya lalu kusedot - sedot seperti bayi yang sedang menetek.
Tapi
bukan cuma itu yang bisa kulakukan. Mbak Weni menarik tanganku dan
menyelinapkannya ke balik celana dalamnya. Dan langsung menyentuh
memeknya… !
Saat itu aku memang belum pernah
menytubuhi perempuan. Tapi nonton film bokep sih sering. Karena itu aku
tidak terlalu bingung juga. Aku tahu juga apa yang harus kulakukan
ketika keadaan sudah menjadi seperti ini. Bahwa ketika aku masih asyik
menyedot - nyedot dan menjilati puting payudara kakakku, tanganku yang
berada di balik celana dalamnya pun mulai asyik mencolek - colek celah
kemaluannya yang tidak berjembut dan mulai membasah ini.
Ketika
jemariku mulai kuselinapkan ke dalam celah memek Mbak Weni, kutemukan
celah itu basah, hangat dan licin. Nafasku pun semakin tak beraturan.
Tampaknya Mbak Weni menyadari apa yang sedang terjadi pada diriku. Bahwa nafasku sulit diatur lagi.
“Kamu sudah sangat bernafsu ya?” tanya Mbak Weni sambil mengelus rambutku, “Ya udah… kita mulai aja. “
Tanpa
canggung Mbak Weni melepaskan celana dalamnya. Lalu celentang dan
merenggangkan kedua pahanya, sambil mengelus - elus kemaluannya. “Ayo…
lepasin baju dan celanamu… “
Tanpa membantah
kulepaskan kaus oblong dan celana trainingku, sehingga aku jadi langsung
telanjang, karena setiap mau tidur aku tak pernah memakai celana dalam.
“Anjriiiittttt…
! “Mbak Weni tampak kaget. Bangun dan memegang penisku yang sudah
ngaceng berat ini. “Sudah bertahun - tahun kita gak pernah mandi bareng.
Tau - tau sekarang kontolmu jadi panjang gede gini Bon. Hihihiii… pasti
asyik dientot sama kontol sepanjang dan segede gini sih. “
Aku
masih ingat benar, ketika kontol ngacengku menerobos liang memek Mbak
Weni, rasanya tidak terlalu sulit. Berarti Mbak Weni tidak perawan lagi?
Entahlah. Yang jelas aku mulai merasakan enaknya liang memek Mbak Weni
ketika kontolku mulai bermaju mundur di dalamnya. Ada rasa geli - geli
enak ketika kontolku bergesekan dengan dinding liang memek Mbak Weni
yang terasa bergerinjal - gerinjal empuk, hangat dan licin.
Mbak
Weni pun tampak enjoy dengan entotanku. Ia mendekap pinggangku erat -
erat sambil berbisik, “Kontolmu gede banget Bon. Enak sekali… ayo entot
terus… jangan mandeg - mandeg. “
Mbak Weni
bertubuh tinggi montok. Dengan bokong dan sepasang toket yang gede. Dan
aku sangat menikmati kelebihan - kelebihan kakak sulungku itu.
Mbak
Weni sendiri yang mengajariku bagaimana caranya mengemut pentil toket
gedenya, menjilati lehernya dan mencium bibirnya. Dalam tempo singkat
saja aku mulai mahir mengentot liang memek Mbak Weni yang luar biasa
enaknya ini.
Mbak Weni pun mulai berdesah -
desah dan merintih - rintih perlahan. “Bona… aku jadi semakin sayang
padamu Bon… entot terus Bon… entoooot teruuussss… oooooh… kontolmu
memang luar biasa enaknya Bon… “
“Tempik Mbak
juga enak sekali… luar biasa enaknya Mbak… uuuugggghhh… uuuuughhhh…
“sahutku dengan nafas berdengus - dengus, sambil menikmati geli - geli
enaknya gesekan antara kontolku dengan dinding liang memek kakak
sulungku.
Itu adalah pertama kalinya aku
merasakan nikmatnya mengentot cewek. Kebetulan saja ceweknya adalah
kakak sulungku sendiri yang tubuhnya bahenol itu.
Tapi
pengalaman pertama ini membuatku sama sekali tidak bisa mengontrol
diri. Sehingga hanya belasan menit aku mengayun kontolku, lalu aku
seperti merasakan sesuatu yang membuatku panik. “Mbak… ka… kayaknya aku
ma… mau jrot nih, “ucapku tergagap.
“Ha?!
Ooooh… kamu baru pertama kalinya merasakan ngentot memek cewek ya. Ayo
lepasin di dalam tempikku aja Bon… “sahut Mbak Weni dengan sorot kecewa.
Maka
kurasakan semua itu. Sesuatu yang paling nikmat di dunia ini. Bahwa
moncong kontolku mengecrot - ngecrotkan air mani di dalam liang tempik
kakak sulungku. Crot… croooot… crooooooot… crooooot… croooooooootttt…
croooott … crooooooottttttt… !
Aku mendengus - dengus di atas perut Mbak Weni, lalu terkapar dan terkulai lemah.
Mbak Weni menciumi bibirku. Lalu bertanya, “Enak gak memekku Bon?”
“Enak banget. Tapi cuma bisa sebentar ya Mbak. “
“Biasa
kalau pertama kali sih gak bisa bertahan lama - lama. Jangan dicabut
dulu kontolnya ya. Mungkin sebentar lagi juga ngaceng kembali. “
“Iya Mbak. Aku kok jadi semakin sayang sama Mbak. “
“Sama.
Aku juga makin sayang sama kamu Bon. Tapi ingat… kamu harus bisa
merahasiakan semuanya ini ya. Jangan sampai Rina dan Lidya tau. Apalagi
Papa dan Mama, sama sekali jangan sampai mencium gelagat semuanya ini. “
“Iya
Mbak. Dijamin soal itu sih. Aku pasti akan tutup mulut. Tapi… barusan
aku ngecrot di dalam tempik Mbak, apa gak bakal bikin Mbak hamil?”
“Nggak mungkin. Aku kan sudah disuntik kabe. Berapa puluh kali juga kamu ngecrot di dalam tempikku, takkan membuatku hamil. “
“Ogitu ya. Keliatannya Mbak sudah pengalaman ya. “
“Iya. Tapi awas… jangan bilang - bilang sama orang lain. Ini rahasia terbesarku. “
“Iya Mbak, aku bakal tutup mulut. Soal itu kan masalah yang paling pribadi buat Mbak. “
“Hey
Bon… kontolmu udah mulai ngaceng lagi nih, “kata Mbak Weni sambil
menggerak - gerakkan bokongnya sedemikian rupa, sehingga kontolku terasa
seperti sedang disedot - sedot dan digesek - gesek oleh liang memek
kakak sulungku.
Mbak Weni pun memberi
instruksi, “Entotin pelan - pelan dulu… jangan sampai lepas… iyaaaa…
iyaaaaa… naaaaah… mulai ngaceng bener kan?”
“Iya Mbak… jadi enak lagi Mbak… uuugggh… uuuuggghhh… “
“Ayo entot terus… sekarang sih pasti kamu bisa lama ngentot aku. “
O
senangnya hatiku, bisa mengentot lagi. Bahkan kali ini benar seperti
yang dikatakan oleh Mbak Weni. Aku bisa bertahan lama di atas perut
kakak sulungku yang baik hati itu.
Keringatku
pun sampai bercucuran, karena lebih dari sejam aku mengayun kontolku,
namun gejala - gejala mau ngecrot sepertinya masih jauh.
Malam
itu bukan cuma dua kali aku mengentot kakak sulungku. Tengah malam,
Mbak Weni seperti yang bernafsu lagi. Dengan binalnya kakak sulungku itu
menyelomoti kontolku sampai ngaceng lagi. Saat itu ia memilih untuk
bermain di atas. Ia memasukkan kontolku ke dalam liang tempiknya.
Kemudian ia yang aktif membesot - besot kontolku, dengan menaik -
turunkan bokongnya di atas tubuhku.
Setelah aku
ngecrot untuk yang ketiga kalinya, kami tertidur nyenyak sambil
berpelukan, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.
Tapi
menjelang subuh, kurasakan sesuatu yang bergerak - gerak di batang
kemaluanku. Ketika aku membuka mata, ternyata Mbak Weni sedang asyik
menyelomoti kontolku, sambil mengurut - urut bagian yang tidak terkulum
olehnya.
Karuan saja kontolku jadi ngaceng lagi.
Kemudian Mbak Weni menungging sambil mengajakku bersetubuh lagi, kali ini dalam posisi anjing - anjingan (doggy).
Aku
menurut saja. Sambil berlutut dan menghadap ke arah pantat Mbak Weni,
kumasukkan kontolku ke dalam liang memek Mbak Weni. Kemudian kuayun lagi
kontolku dalam posisi doggy ini.
Ternyata dalam posisi bagaimana pun gesekan antara kontolku dengan dinding liang memek kakak sulungku, sama saja enaknya.
Meski masih subuh, keringatku mulai bercucuran, karena cukup lama aku mengentot kakak sulungku dalam posisi doggy ini.
“K
ok malah ngelamun? Katanya mau nganter mama ke warung gudeg itu, “kata
Mama membuyarkan terawangan masa laluku. Ternyata Mama sudah selesai
berdandan. Mengenakan celana corduroy biru tua dan baju kaus hitam yang
tadi tak jadi dikenakannya itu.
“Iya Mam. Aku kan sudah pakai baju. Tinggal berangkat aja, “sahutklu sambil berdiri.
Kemudian kami melangkah menuju warung nasi gudeg itu. Warung yang letaknya tidak jauh dari hotel tempat kami cek in.
Yang
paling kusukai di warung ini, gudegnya selalu dengan ayam kampung.
Selain itu, di warung ini selalu tersedia emping besar, sebesar piring
dan dilipat dua.
“Pernah belasan tahun tinggal
di Sleman, belum puas juga makan gudeg Jogja Mam?” ucapku ketika kami
mulai menyantap nasi gudeg di warung kecil itu.
“Justru
setelah jauh dari Jogja, mama jadi kangen sama gudegnya. Di Subang kan
susah nyari gudeg yang seperti ini. Ada juga yang jual gudeg, tapi
rasanya tidak seenak di Jogja ini. “
Aku
tercenung. Bukan memikirkan ucapan Mama. Tapi teringat lagi betapa
seringnya aku masuk ke dalam kamar Mbak Weni setelah Papa, Mama, Mbak
Rina dan Mbak Lidya berada di Jogja kembali.
Sampai
pada suatu hari, aku baru tiba di depan rumah kos Jono, di Bintaran
Wetan. Tiba - tiba pandanganku tertumbuk ke seorang cewek berperawakan
tinggi montok. Cewek itu mau masuk ke dalam sebuah sedan bersama seorang
lelaki tua yang tidak kukenal. Tapi ceweknya jelas sekali… dia adalah
Mbak Weni…
Aku tercengang. Mau memanggil kakak
sulungku itu. Tapi Mbak Weni kebetulan melihat kehadiranku juga di depan
rumah kos Jono itu. Lalu Mbak Weni mengedipkan sebelah matanya padaku
sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya.
Itu
isyarat agar aku jangan ribut atau jangan mengluarkan suara. Aku pun
terdiam. Lalu kulihat Mbak Weni masuk ke dalam sedan hitam itu. Kemudian
sedan hitam itu bergerak menjauh sampai akhirnya hilang dari
pandanganku.
Ingin sekali aku memacu motorku
untuk mengejar sedan hitam itu. Karena aku ingin tahu siapa lelaki tua
yang membawa Mbak Weni itu. Tapi bukankah tadi Mbak Weni mengedipkan
sebelah matanya sambil memberi isyarat yang kuartikan menyuruhku diam
dan jangan mendekatinya?
Hal itu membuatku
gelisah. Sehingga niat untuk menjumpai Jono, sahabatku pun kubatalkan.
Aku pun pulang kembali ke Sleman. Dengan pikiran tak menentu.
Apakah
Mbak Weni sudah menjadi cewek gak bener dan biasa dibawa oleh bapak -
bapak yang ingin bersenang - senang dengan daun muda?
Keesokan harinya barulah aku mengetahui siapa lelaki tua yang membawa Mbak Weni dengan sedan hitamnya itu.
Mbak Weni sengaja mengajakku nongkrong di café. Kemudian memberikan penjelasan padaku, “
“Dia
itu calon suamiku Bon. Mungkin bulan depan juga aku akan menikah
dengannya, kemudian dibawa pindah ke Jakarta, “ucap Mbak Weni yang
sangat mengejutkanku itu.
“Maaf Mbak… lelaki setua itu akan menjadi suami Mbak?” tanyaku bernada complain.
“Why
not? Di zaman sekarang menikah dengan lelaki tua sudah tidak aneh lagi.
Wanita tua kawin dengan cowok yang masih sangat muda pun banyak, “sahut
Mbak Weni sambil tersenyum, “Yang penting masa depanku terjamin. “
Aku
tidak berani mendebat ucapan kakak sulungku itu. Tapi aku mulai punya
prediksi, bahwa selama ini Mbak Weni selalu banyak uang, tentu berasal
dari lelaki tua yang katanya calon suaminya itu.
“Kamu
jangan sedih ya Bon, “Mbak Weni menepuk - nepuk punggung tanganku yang
berada di atas meja café. “Setelah aku dibawa pindah ke Jakarta pun,
kita tetap bisa ketemuan. Mungkin aku yang ke Jogja atau kamu yang ke
Jakarta. Terus ketemuan di hotel. Atau langsung datang ke rumahku. Kamu
kan adikku.
Wajar kalau adik mendatangi rumah
kakaknya kan? Kita tetap bisa melakukannya, karena calon suamiku itu
poligami. Aku cuma akan dijadikan istri keempatnya. Jadi dalam sebulan
paling juga cuma seminggu dia bersamaku. Tiga minggu bersama ketiga
istri lainnya yang dijatah seminggu untuk seorang istrinya.
Aku tidak tertarik pada tawaran itu. Aku malah bertanya soal lain, “Lalu kuliah Mbak nanti gimana?”
“Dilanjutkan
di Jakarta kan bisa. Tapi aku kan cewek Bon. Berhenti kuliah juga gak
apa - apa. Beda dengan kamu… lanjutkan terus kuliahmu ya Bon. Nanti
setelah aku menikah, aku akan selalu transfer duit untuk menutupi
kekurangan - kekuranganmu. “
Sebulan kemudian
Mbak Weni benar - benar menikah dengan lelaki tua yang lalu kukenal
sebagai Bramantio itu. Papa dan Mama pun tidak memperlihatkan sikap
menolak. Mereka bahkan tampak merestui pernikahan Mbak Weni dengan
lelaki tua yang lalu harus kubiasakan memanggilnya Mas Bram itu.
Janji
Mbak Weni pun dipenuhi. Tiap bulan dia mentransfer dana yang cukup
besar ke rekening tabunganku. Padahal aku lebih merindukan Mbak Weni.
Bukan transferan duitnya.
Ya… aku jadi merasa
kehilangan kakak sulungku itu. Kehilangan kakak yang murah hati.
Kehilangan penyaluran manakala nafsu birahiku datang menggoda.
“Melamun lagi, “ucap Mama sambil menepuk bahuku setelah selesai makan. Terawanganku pun buyar seketika.
“Bukan melamun… tapi sedang memikirkan skripsi yang sedang kubuat Mam, “sahutku berbohong.
“Baguslah. Kamu harus menyelesaikan kuliahmu. Jangan seperti Weni yang putus kuliah di tengah jalan, “sahut Mama.
Entah
kenapa, dengan Mama aku tak mau membahas masalah Mbak Weni. Karena aku
memiliki segudang kenangan dengan Mbak Weni, yang tetap kurahasiakan
kepada siapa pun.
Bahkan transferan dari Mbak
Weni yang selalu kuterima setiap bulan itu pun selalu kurahasiakan.
Karena Mbak Weni ingin agar hal itu dirahasiakan.
Setelah berada di dalam kamar hotel lagi, aku bertanya, “Bukannya mau ke Malioboro Mam?”
“Besok
lagi aja ah. Sekarang mama pengen kangen - kangenan sama kamu aja.
Mumpung mama masih di sini, “sahut Mama sambil melepaskan celana
corduroy biru tuanya berikut celana dalamnya sekalian. Lalu Mama
menatapku sambil mengusap - usap memeknya, dengan senyum yang menggoda.
Aku
terbengong - bengong. Nafsuku pun bergejolak lagi setelah melihat
“tantangan” di depan mataku itu. “Iya deh… aku juga udah kepengen lagi
Mam… “ucapku sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku.
Lalu
aku naik ke atas bed, sementara Mama sedang melepaskan baju kaus hitam
dan beha putih bersihnya. Aku pun melepaskan baju kausku, sehingga kami
jadi sama - sama telanjang bulat lagi.
“Jilatin
dulu memek mama Sayang, “kata Mama sambil mengusap - usap memeknya yang
masih “terkatup”, belum kelihatan bagian yang berwarna pinknya.
Aku mengangguk, lalu tengkurap di antara kedua paha Mama yang sudah mengangkang.
Kalau
dibandingkan dengan memek Mbak Weni, memang memek Mama lebih
menggiurkan lagi. Bahkan kalau dirasa - rasakan, memek Mama sedikit
lebih enak daripada memek Mbak Weni. Bedanya cuma satu, Mbak Weni jauh
lebih muda daripada Mama.
Yang sangat
menyenangkan, Mama senantiasa mengabulkan keinginanku. Apa pun yang
ingin kulakukan, selalu disetujuinya. Karena aku pun sadar bahwa Mama
paling menyayangiku, sebagai satu - satunya anak cowok Mama.
Dan kini wajahku sudah berhadapoan dengan kemaluan Mama yang ingin dijilati itu.
Maka
kungangakan lagi labia mayora Mama dengan kedua tanganku. Sehingga
bagian yang berwarna pink itu terbuka lagi dengan jelasnya.
Aku pun mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahapnya.
“Iyaaaaa…
ooooooh enaknya… iyaaaaa… enak sekali Booon… itilnya jangan lupa ya
Sayaaaang… jilatin itilnya juga… aaaa … aaaaaaaah… “desah Mama sambil
semakin merentangkan jarak di antara sepasang pahanya.
BERSAMBUNG