Rumah Bambu
Kampung cipalasik adalah kampung yang damai dan sejuk. Disini kebayakan penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, ada yang berkebun, berternak unggas, kambing, juga menanam padi di sawah. Kebayangkan rumah penduduk disini rumah panggung dengan dinding bambu atau papan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi rumah yang memang bagi kami sangat layak untuk ditempati.
Terletak di
pegunungan yang berkabut dengan curah hujan yang tinggi. Posisi tempat
kampung kami juga berada sangat jauh dari kota, butuh perjalanan
berjam-jam untuk sampai ke sana. Selain jalannya yang rusak parah penuh
lumpur dan berbatu, ditengah jalan juga belum tentu selamat dari
perampok yang selalu saja ada kejadian orang dianiaya bahkan hingga
tewas.
Begitu pun dengan keadaan rumah yang
sedang kami tempati terbuat dari anyaman bambu, bagian atasnya terbuat
dari anyaman daun kelapa yang disusun rapi berbaris-baris yang kini
sudah berwarna coklat. Kadang jika hujan sangat lebat, ada saja air yang
menetes kedalam ruangan rumah kami. Ini sudah menjadi kebiasaan disaat
hujan pasti terjadi seperti ini.
Sedangkan
lantainya juga terbuat dari anyaman bambu yang kerangkanya dari campuran
bambu tua juga kayu-kayu yang diambil dari hutan. Karena rumah kami
adalah rumah panggung, dibagian bawahnya dimanfaatkan untuk kandang
beberapa unggas, dipinggir rumah juga ada beberapa kambing yang setiap
hari saya mencari rumput untuk makanan ternak kami.
Hidup
seperti ini yang penuh dengan kekurangan, tidak membuat kami merasa
mengeluh dengan pemberian rejeki yang ditebarkan tuhan kepada
makhluknya. Kami merasa bersyukur dengan keadaan kami karena diluar sana
pastilah banyak keluarga yang lebih susah kehidupannya daripada
kehidupan kami.
Saya Ucup berusia 18 tahun
dengan tinggi 170 berbadan agak kekar hasil dari kerja keras setiap
hari, kehutan, sawah, dan menggembala kambing. Kulitku juga berwarna
coklat kehitaman akibat disaat terik matahari pergi ke hutan mencari
rumput untuk makanan ternak. Ketika menggembala kambing saya tak
sendiri, karena ada teman-teman sebayaku yang juga punya hewan ternak
yang selalu digembalakan.
“Cup.. Ucup…?!” Ibuku memanggilku dari dalam rumah.
“Iyaa Bu?? Ada apa bu…??” Kata aku kepada ibu.
Sedikit
tentang ibuku, namanya ibu darsih berusia 38 tahun tinggi sama denganku
170, berat badannya saya tidak tahu persis, yang jelas tubuhnya gendut
dengan paha dan pantat yang besar pinggul lebar, payudaranya yang besar
kadang sampai menyembul. Terlihat uratnya yang hijau dibalik kulitnya
yang putih, entah mungkin bhnya tak sanggup menampung payudaranya atau
memang bhnya kekecilan.
“Ini nasi sama lauknya nak, kenapa tidak makan dulu saja sebelum menggembala kambingnya? Nanti kamu sakit nak…?” Kata ibuku.
“Nanti
saja Bu di hutan makannya sama teman-teman, soalnya Ucup suka kalau
makan bareng sambil menggembala Bu..” kata aku kepada ibuku yang sedang
membawakan rantang berisikan nasi dan lauknya lalu dimasukan kedalam tas
selempangku yang terbuat dari anyaman rotan.
“Makasih bu, ibu selalu nyiapin buat Ucup makanan kalau mau menggembala…” Kataku kepada ibu.
“Kamu
udah berapa kali ngomong itu kepada ibu nak?, sampai tidak ke hitung..
memang nalurinya seorang ibu menyayangi anaknya.. setiap ibu pasti
begitu. Hati-hati yaa nak dihutannya…” Ucap ibuku sambil tersenyum, aku
pun melambaikan tanganku sambil terus melangkah menggiring beberapa
kambing menuju hutan.
Ditengah jalan saya
bertemu dengan teman-teman yang sedang menggiring kambing-kambingnya.
Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan kadang tak melakukan perjanjian
pun kami selalu bertemu ditengah jalan.
Setelah
sampai ditempat yang penuh rumput yang menghijau, kami membiarkan
kambing-kambing itu makan sendiri. Saya bersama teman-teman membuka
bungkusan bekal dari rumah masing-masing, kami makan dengan lahap serta
saling berbagi lauk pauknya. Sesekali mata kami melihat kambing-kambing
itu agar tidak mencari makan terlalu jauh, karena pernah saking asiknya
ngobrol kambing kami hilang dari pantauan meskipun akhirnya ditemukan
kembali.
Sorenya saya pulang kembali sambil
membawa rumput di karung untuk diberikan ke hewan ternak pada pagi
harinya. Setelah memasukkan kambing-kambing ke kandangnya, saya taruh
karung yang berisikan rumput itu disamping kandang, lalu istirahat
sejenak didepan rumah diterasnya yang berbentuk panggung yang terbuat
dari anyaman bambu.
Duduk sambil melihat
pemandangan alam yang menghijau, disertai angin yang begitu sejuk
membelai kulitku sampai keringatku mengering.
Ketika
sedang duduk-duduk itu, datanglah ibuku sambil membawa ketel (tempat
air minum) yang terbuat dari aluminium beserta gelas kacanya yang
bermotif bunga.
Ibuku ikut duduk di sampingku
lalu berkata, “Cup, minum dulu nak…” Ucap ibuku sambil menuangkan ketel
yang berisikan air teh yang masih mengepul karena masih agak panas.
“Ibu… Jangan repot-repot Bu..? Ucup bisa ambil sendiri minumnya… Ucup malu tidak bisa membalas kebaikan ibu…” Kataku kepada ibu.
Ibuku
tersenyum, lalu berkata, “Nak, kamu putra ibu satu-satunya… Kamu juga
penyemangat ibu, buah hati ibu… Ibu mana yang tega melihat anaknya penuh
peluh keringat kecapean, setidaknya ibu bawakan air teh ini bisa
meringankan beban kamu nak…”
“Makasih yaa Bu, ibu juga sumber dari segala harapanku… Kelak aku akan mencari istri yang baik juga tulusnya seperti ibu…”
Kataku kepada ibu sambil saya minum teh anget itu.
Rupanya
ucapanku tadi telah membuat ibuku malu-malu dan merasa dibanggakan,
dirinya melemparkan senyuman lalu katanya, “kamu bilang apa sih cup…?
Masa ibu sumber harapan kamu… memangnya ibu begitu ya di mata kamu?”
“Iyaa
Bu, selain itu ibu juga cantik dan montok, beruntung sekali ayah
memiliki istri yang sempurna seperti ibu… Oiya Bu, ayah kemana yaa? Kok
gak keliatan?”
“Bapak kamu nyari kayu bakar,
tapi belum juga pulang… Kamu makin ngelantur aja ngomongnya cup.. masa
ibu yang gendut ini dibilang cantik.. bapak kamu aja biasa aja tuh gak
puji-pujian ibu… Cuman kamu aja yang peka kalau ibu selalu merawat
tubuh…“.
Ucapanku semakin masuk mempengaruhi
pikiran dan hati ibu sedikit demi sedikit sehingga ibu terbawa jebakan
kata-kataku. Saya hanya berharap ibuku mau menjadikanku suami keduanya.
Sejak
5 tahun yang lalu, ketika pikiranku sudahbaligh(mimpi keluar air mani)
kebetulan yang saya mimpikan itu ibuku sendiri. Saat itulah ibu selalu
menjadi fantasiku dalam beronani.
Lalu,
perlahan-lahan saya mulai berani mengeluarkan kata-kata rayuan yang
awalnya dianggap biasa-biasa saja oleh ibu. Tapi seiring berjalannya
waktu, dengan penuh kesabaran dan keinginan yang kuat dari dalam diriku,
setidaknya ibu mau memberikan hati dan perasaannya.
Kini
perjuanganku selama bertahun-tahun lamanya membuahkan hasil, ibuku
semakin memberikan perhatian dan selalu mengeluarkan uneg-unegnya disaat
hatinya gelisah.
Meskipun saya sudah beranjak
dewasa, aku selalu tiduran dipangkuan ibu sambil mencari kutu. Padahal
kutu di kepalaku sudah tidak ada, hanya saja kebiasaan itu sudah melekat
pada kami, sehingga tiduran dipangkuan ibu menjadi hal yang lumrah kami
lakukan.
Ketika sedang mengobrol itu, ayahku
pak Samin sudah berusia 49 tahun datang dari arah depan, sambil memikul
kayu bakar yang dibawa di atas pundaknya. Lalu setelah dibawa ke dapur
ayah menghampiri kami.
“Cup kamu baru pulang?“.
“Dari tadi yah, Ucup ngangin dulu sambil minum teh anget dari ibu..”
“Mandi dulu sana, udah mau Maghrib..”
“Iya yah..”
Saya
pun bangkit beranjak dari tempat duduk menuju tempat mandi. Jujur saja
sebenarnya tidak kuat mandi pagi, sore atau malam. Udara yang dingin
ditambah air yang seakan menusuk tulang, pasti membuat badanku menggigil
kedinginan.
Setelah saya mandi, membersihkan
bagian-bagian tubuh yang kotor, saya ke kamar mengganti baju. Disusul
ayah pun mandi juga kebelakang rumah, sedangkan aku menuju ibuku yang
sedang menyiapkan makanan.
“Masak apa Bu? Wangi sekali aromanya…?” Kataku sambil menghirup bau yang sedap.
“Ini
ibu masak sayur jamur sama rebung pake bumbu kacang kesukaan kamu nak…”
Ucap ibu sambil menyodorkan piring yang sudah berisikan nasi putih yang
mengepul.
“Wahh! Hebat banget ibu masaknya.. masakan ibu selalu enak, nanti ajarin Ucup masak rebung dong Bu?”
“Iyaa ibu nanti ajarin kamu cara masaknya ya.. sekarang kita makan, tapi nunggu ayahmu dulu ya…?”
Ucap
ibuku, selain memiliki tubuh yang montok, ibu punya daya tarik yang
sangat mengundang birahiku. Entah ada apa denganku ini? Mencintai ibuku
sendiri.
Sambil menunggu ayah selesai mandi,
diam-diam aku pandangi lekukan tubuh ibu dari wajah sampai kedua
kakinya. Melihat paras ibu yang cantik, payudaranya yang montok juga
tubuhnya yang bahenol, sampai membuat torpedoku mengeras hebat.
Tiba-tiba
ibu melihatku ketika aku sedang mengamati tubuhnya,“Cup? Bengong
kenapa..? Dari tadi liatin ibu terus..? Kenapa, ibu gendut yaa..?” Ucap
ibuku memandangku lalu menyiapkan nasi ke piring untuk ayah.
“Bagaimana Ucup tidak bengong Bu… Perasaan, ibu semakin cantik saja setiap harinya… hehee!” Kataku kepada ibu yang tersipu malu.
“Udah ahh jangan godain ibu terus.. tuhh! Tangan ibu sampai gemetaran begini…” Ucap ibu.
Benar saja jangankan tangannya, tubuhnya pun ikut gemetaran karena pujianku barusan.
Lalu ayah pun datang dari arah kamar mandi, masuk sebentar ke kamar dan menghampiri kami yang sudah menunggu lama untuk makan.
Ketika sedang makan dengan lahapnya, ibu berkata kepada ayah, “Gimana pak masakan ibu enak…?” Ucap ibu.
“Hmmm.. lumayan…” Kata ayah sambil mengunyah.
Rupanya
ucapan ayah tadi sudah menghilangkan senyuman di wajah ibu, saya bisa
melihat dan merasakan bagaimana perasaan ibu ketika mendengar jawaban
datar itu.
Apa ayah tidak tahu, pujian
sederhana terhadap kerja keras seorang wanita adalah penghargaan
terbesar dari hasil usahanya? Memang kejadian seperti ini sejak dulu
sering ku lihat.
Saya pun tahu, ibu seperti menahan rasa sesak dihatinya bertahun lamanya.
‘Tok! Tok! Tok!‘. “Assalamualaikum, Pak Samin..?!!” Suara pintu diketuk.
“Iyaa sebentar…” Ayah ke depan membuka pintu.
“Pak Samin maaf mengganggu..”
“Gak apa-apa pak Kasim, ada apa ya..?”
“Besok
pagi kita sama lima orang lainnya oleh ketua adat, mengajak pak Samin
ke kota untuk mewakili kampung kita menghadiri pesta rakyat syukuran
pak. Bagaimana pak Samin akan ikut?”
Ucap pak Kasim tetangga kami.
“Baiklah saya ikut pak Kasim, apalagi yang mengajak kan ketua adat. Suatu kehormatan bagi saya untuk bisa ikut pak…”
“Baiklah kalau begitu saya pamit dulu pak Samin, besok pagi kita siap-siap berangkat… Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam… Ehh.. tunggu pak Kasim… Berapa lama kita disana?”
“O.. iya saya hampir lupa, sekitar tiga harian pak… Permisi pak saya pamit…”
“Iyaa..” pintu pun ditutup.
“Mau _menghadiri pesta rakyat pak?” Kata ibuku ketika ayah duduk kembali.
“Iya
Bu, sepertinya bapak akan ikut ke kota bersama yang lainnya, apalagi
yang mengajak ketua adat. Bapak harus ke sana besok pagi…” Kata ayah
melanjutkan makannya.
“Ya sudah, hati-hati pak di sana…” Ucap ibu.
“Hmmm…” Ayah hanya berdehem menjawab ibu sambil mengunyah.
Akhirnya
makan-makan pun selesai, saya membantu ibu membawakan piring, lauk dan
nasi di bakul. Sedangkan ibu menyapu sisa-sisa nasi yang berjatuhan.
Seperti biasa selesai membantu ibu, saya ke depan rumah duduk diteras panggung untuk menikmati suasana malam.
Ketika sedang duduk datang ayah dari dalam rumah sepertinya mau pergi, “Cup, jagain ibu ya? Bapak mau ke ketua adat dulu…”
“Iya yah…” Kataku singkat.
Beberapa menit sejak ayah pergi, datang ibu dari dalam rumah membawa secangkir kopi, lalu diletakkan dipinggir tempatku berada.
“Bu..?” Aku tertegun melihat ibu begitu perhatian kepadaku.
“Minum kopinya nak… Masa nongkrong gak minum kopi…” Ucap ibu yang sambil duduk di pinggirku.
“Makasih bu, kenapa harus repot-repot bawain kopi…? Ucup merasa tidak sopan ibu selalu bawain minuman untuk ucup…”
“Gak
kamu suruh pun, ibu akan tetap bawain kamu minuman nak… Ibu merasa gak
tega melihat putra ibu yang selalu menyenangkan ibu, membuat ibu
tersenyum, membuat ibu bahagia. Duduk tak ada secangkir teh pun ada
didekatmu…” Ucap ibu sambil menarik napas panjang.
“Ucup
juga merasa senang, ibu begitu baik kepadaku… Semoga ibu selalu bahagia
dan panjang umur Bu…” Kataku sambil memegang tangannya.
“Amin
nak… Makasih doanya… Ibu merasa senang ada kamu disisi ibu… Disaat ayah
kamu tak memperhatikan yang sepele, kamu malah selalu memuji ibu… Ibu
merasa senang, kamu penyemangat ibu nak…” Ucapnya sambil saling
menggenggam tangan denganku.
Entah ada apa
denganku ini, apa hanya tanganku yang mengeluarkan keringat atau ibu
juga sama telapak tangannya keluar keringat juga. Padahal udara sangat
dingin berkabut dan mulai terlihat gelap.
Rintik-rintik
hujan mulai terdengar suaranya menimpa dedaunan dan atap rumah, saya
tidak tahu apakah ayah akan terjebak hujan atau tidak? soalnya tadi pas
berangkat tidak bawa payung.
Secangkir kopi
saya ambil lalu diminum, tak pikir panjang aku pun menyuruh ibu meminum
kopi. Lalu dengan senang hati Ibu pun meminumnya dibekas mulutku tiga
kali tegukan.
Aku pun meminum lagi kopi itu dibekas mulut ibu dengan nikmatnya, rasanya seperti berciuman secara tidak langsung dengan ibuku.
“Bu,
kalau ibu punya sesuatu yang mengganggu hati ibu, jangan ibu pendam
sendiri… Ucup anak ibu siap mendengar keluh kesah ibu meskipun Ucup
belum berpengalaman mengatasi masalah… Tapi Bu, Ucup janji sama ibu…
Ucup akan berusaha untuk membuat ibu bahagia..” kataku semakin
menggenggam tangan ibuku, tak ku sangka ibu pun membalas genggamanku.
“Ibu
tak tahu harus memulainya dari mana nak… Banyak sekali beban yang ibu
pendam selama ini yang tak sekali pun ibu ceritakan kepada ayah kamu…
Karena masalah itu ada di ayah kamu itu nak…” Ucap ibu mulai bercerita.
Ketika sedang curhat itu tiba-tiba saja hujan lebat yang cipratan airnya sampai mengenai kami berdua.
Saya
berinisiatif untuk mengajak ibu kedalam, “Bu, kita kedalam yuk? Ibu
boleh ceritakan semuanya uneg-uneg ibu ke Ucup… Ucup akan mendengarkan
keluhan ibu karena Ucup sayang ibu… Yuk Bu..?” Saya tarik tangan ibu
untuk kedalam, ibu pun menurut mau aku ajak seperti tak ada penolakan.
Pintu rumah saya kunci karena hujan sangat lebat dan berangin, jika ayah pulang pasti nanti mengetuk pintu.
Ketika
sudah sampai didalam, saya mengajak ibu ke kamarku. Ibu pun tidak
berkata kenapa harus ke kamarku? Bukan ditengah rumah atau di dapur.
Bukan
pertama kalinya ibu berduaan dikamarku, dulu ketika saya sakit pun ibu
sering ke kamarku mengompres keningku dengan lap basah, bahkan pernah
saya juga masuk ke kamar ibu merawat ibu ketika sakit.
Mungkin karena sebab kebiasaan itulah ibu tak bertanya, kenapa harus ke kamarku hanya untuk sekedar curhat?
Kami
pun duduk di pinggir kasur saling berhadapan, ku genggam tangan ibu
agar ibu kuat dan ibu yakin bahwa aku peduli untuk mendengar keluh
kesahnya.
“Bu, katakan saja… Ucup bersama ibu
sekarang… Jangan ibu pendam terus karena Ucup juga tidak mau hanya ibu
saja yang menanggungnya. Mari Bu, Tumpahkan semuanya beban ibu itu
kepada Ucup..” saya cium tangan ibu dengan penuh rasa hormat dan kasih
sayang.
Hujan diluar semakin bergemuruh, suara
halilintar menyambar-nyambar. Terlihat sedikit kabut yang masuk melalui
celah papan dan lobang anyaman bambu kedalam kamar, berarti diluar kabut
sangat pekat sampai masuk kedalam rumah.
“Cup..
ibu sebenarnya malu mengatakannya, tapi ibu percaya sama kamu… Dalam
membangun rumah tangga ibu paham banyak lika-likunya… Ibu bingung kenapa
bapak kamu kurang respek terhadap kerja keras ibu, mulai dari dandanan,
rasa masakan, perhatian dan kasih sayang. Setidaknya pujilah istrinya
meskipun melakukan pekerjaan rumah yang terlihat sepele pun, karena ibu
bukannya tak ikhlas berbakti kepada suami, tapi seorang istri juga butuh
perhatian dari suaminya. Bertahun-tahun ibu merasa tak dihargai, tapi
ibu juga untungnya ada kamu disisi ibu yang selalu menghargai ibu,
memuji ibu sampai ibu merasa senang dan tersenyum sendiri karena saking
bahagianya…” Ibuku tak sanggup menahan beban dihatinya lagi sampai
meneteskan air mata di pipinya.
Aku peluk
ibuku, lalu ibu pun menangis di pelukanku sambil terisak-isak. Ku
usap-usap belakang kepala ibuku menenangkannya, sialnya torpedoku
terbangun sehingga menyalurkan pikiran-pikiran kotor ke otakku.
Sambil
ku peluk, kucium leher ibu lalu keluarlah hembusan nafas birahi yang
menerpa lehernya. Ibu diam saja tatkala tanganku juga membelai
punggungnya.
Setelah beberapa kali ku belai,
ibu tidak tahu dari tadi nafsuku sedang bergejolak dan ingin sekali
melepaskan cairan birahi itu semuanya.
Perlahan
aku pandangi wajah ibu, ku seka air matanya yang sudah berhenti
mengalir. Kedua mata saling bertemu, perasaanku juga dengannya yang
berada di hati, seakan saling terkoneksi seperti bluetooth bertukar
data-data perasaan yang ada di hati kami.
Saya
ajak ibuku menuju tengah kasur lalu ibu pun berbaring disitu dengan
hanya memakai kemben dan kain sarungnya. Aku pun tiduran dengan posisi
menyamping sambil memeluk ibu, dengan kaki kananku menindih kakinya
seperti memeluk guling.
Baru kali ini aku dan
ibu saling berpelukan dikasur, dengan begini seakan benteng yang
menghalangi kami berdua mulai ada sedikit retakan dan berlobang.
Ku
belai rambut ibu dengan lembut dan perlahan, kedua mata saling bertemu,
lalu ibu tersenyum kepadaku dengan senyuman yang membuat perasaanku
campur aduk.
Wajahnya yang begitu cantik, tubuh
yang diselimuti aura birahi mengundang naluri lelakiku. Perlahan-lahan
tanganku turun mengusap pantat ibuku yang membusung dan lebar, tak ada
sedikitpun reaksi penolakan dari ibu.
Seharusnya
ibuku mendelik atau memarahiku karena aku sudah menggerayangi tubuhnya,
tapi dia pun malah mengusap pipiku sambil memandangi setiap sudut
wajahku.
“Bu, ibu cantik sekali… ” Kataku sambil meremas belahan pantatnya.
“Ternyata kamu sudah dewasa ya cup..? Setiap ada masalah di hati ibu, kamu selalu menjadi solusi tempat ibu mengadu…”
“Bu,
memang Ucup belum berpengalaman membangun rumah tangga… Tapi, Ucup bisa
merasakan apa yang mengganggu pikiran ibu.. Ucup hanya tidak mau ibu
menanggung beban dihati ibu sendirian.. biarkan Ucup juga merasakan yang
ibu rasakan ya Bu..?”
Kataku semakin meremas pantat ibu.
“Makasih
yaa nak? Ibu beruntung sekali punya anak sepertimu… Ini semua gara-gara
bapak kamu kurang peka sama ibu…” Ucapnya cemberut lalu tersenyum lagi
setelah memandangku.
“Gak apa-apa kalau ibu
ingin meluapkan perasaan ibu ke Ucup… Malah Ucup senang kita saling
terbuka, bukan maksud Ucup ingin menjelekkan ayah dibalik masalah yang
ibu hadapi, tapi… Ucup hanya semata-mata ingin membahagiakan ibu dengan
cara Ucup sendiri…” Tanganku mulai menyingkapkan kain sarungnya sampai
tanganku menyentuh celana dalamnya langsung.
Mata ibu begitu sayu, nafasnya pun mulai memburu, ku lihat ibu mulai gelisah dengan tubuhnya yang terus menggelinjang pelan.
Hujan
semakin lebat disertai angin kencang dan kilat yang menyambar. Saya
berharap ayah jangan dulu pulang ke rumah, karena bagiku ini momen yang
sangat langka dalam hidupku.
“Bu, ibu tidak marah? Ucup memeluk ibu menggerayangi ibu?”
“Kalau
ibu marah sudah dari tadi nak ibu memarahimu sebelum kamu menidurkan
ibu di kasur, lagian kenapa kamu meraba-raba pantat ibu sih? Ingat
jangan kebablasan?! Aku ibu kamu lho…?”
“Ibu
jangan khawatir, Ucup hanya ingin meraba ibu saja kok… Kalau pun Ucup
kebablasan, ibu segera tegur Ucup Bu… Karena Ucup tidak mau ibu merasa
dilecehkan… Ibu percaya kan sama Ucup …?”
Kataku meyakinkan ibu, tentunya kain sarung ibuku semakin terbuka naik keatas dan tanganku semakin bebas meraba pantat ibu.
“Tapi jangan sampai ketika ada bapak kamu cup… Juga jangan sampai ketahuan ya…?”
“Baik
Bu, Ucup akan hati-hati… Yang penting ibu tak merasa risih saja itu
sudah cukup… oiya bu, apa masalah ranjang ibu dengan ayah tak ada
masalah…?”
Obrolanku mulai menjurus ke hal yang privasi.
“Alhamdulillah
baik-baik saja cup.. hanya saja bapak kamu lebih cepat keluar, sehingga
ibu belum apa-apa sudah berhenti ditengah jalan…” Ucapnya dengan
sedikit ada kekecewaan.
“Syukurlah Bu kalau
begitu, Ucup pun senang mendengarnya…” Saya tidak berani langsung ke
masalah pokoknya, yaitu mengajak ibu untuk bersetubuh denganku.
Sedangkan penisku terasa sangat panas ketika bersentuhan dengan paha
bagian dalamku.
Obrolanku dengan ibu berhenti
sejenak, ibu pun hanya terdengar suara nafasnya saja dengan wajah kami
saling berhadapan. Ku lihat ibu membasahi bibirnya sampai aku menelan
ludah melihat pemandangan yang mengundang birahiku.
“Bu.. boleh Ucup cium ibu…?” Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulutku disertai perasaan takut dan gugup.
Ibuku
memandang mataku sejenak memastikan apakah aku serius meminta itu? Lalu
ibu pun memejamkan matanya, saya tidak tahu kalau itu adalah sebuah
kode dari ibu bahwa aku dibolehkan menciumnya. Perasaan itu mengalir
saja dari diriku, dengan perlahan aku dekatkan wajahku sehingga kedua
bibir bertemu.
Sungguh dalam sejarah hidupku,
inilah yang pertama kali aku dalam usia sekarang ini mencium wanita,
sedangkan wanita itu adalah ibu kandungku sendiri.
Deg!
Deg! Deg! Jantungku semakin berdegup kencang! Membuat aliran darahku
seakan menyembur deras mengalirkan benih-benih birahi ke seluruh penjuru
syarafku. Perlahan-lahan aku lumat bibir ibu lalu dibalasnya oleh
ibuku, hawa udara yang dingin diatas pegunungan yang berkabut, seakan
bertabrakan dengan hawa panas yang keluar dari tubuh kami.
Ibu
sekarang sudah membuka matanya meskipun merem melek seperti mata ayam,
tak ada perlawanan atau penolakan dari ibu, karena sejak awal aku sudah
mengatakan jika kebablasan ibu boleh menolaknya.
Padahal
sebenarnya ini sudah kelewat batas kelakuan anak dan ibu kandung. Saya
sendiri tahu ini salah dan akan menjurus ke arah perzinahan.
Anehnya
justru itulah yang aku harapkan dari ibuku, harapanku cita-citaku malah
ingin memiliki seorang adik atau anak dari benihku bersama ibu.
Ketika
sedang saling berciuman itu, aku dekatkan penisku sehingga tubuh bagian
depan kami merapat dan aku rasakan penisku yang tak memakai celana
dalam dari kolorku nyundul pubis memeknya.
Entah
menyadari atau tidak, ibuku diam saja tak berkomentar. Malah aku
rasakan ciuman ibu semakin liar ku rasakan. Lidah kami pun mulai beradu
ugh! Nikmat sekali, apalagi penisku semakin aku tekan-tekan kearah
memeknya, sehingga membuat kami berdua lupa yang niat awalnya untuk
curhat, ini malah saling berbagi dan melepaskan birahi.
“Bu, Ucup sayang ibu…”
“Apalagi ibu nak… sebelum kamu lahir, ibu sudah sangat menyayangimu…” ucap ibuku melihat-lihat wajahku sambil tersenyum.
Tok!
Tok! Tok! “Buu?!!!! Buka pintunya…! Bapak pulang…?!!” Kami pun kaget
dengan kedatangan ayah, sekaligus kecewa. Kenapa harus sekarang?
Ibu membereskan lagi bajunya juga kain sarungnya yang sudah tersingkap dan tak menutupi pantatnya.
“Cup.. jangan sampai bapakmu tahu kita begini ya…?!” Ucap ibu menatapku.
“Iyaa Bu, ini rahasia kita berdua… Tapi ibu gak kapok kan?”
“Gak tahu…”
Ucap ibu, lalu pergi menuju pintu depan.
TAMAT